Sunday, July 30, 2017

Baptis menurut saya

Di dalam kehidupan beragama orang Kristen dewasa ini, terdapat beberapa fenomena yang menurut saya "unik", karena pada masa sebelumnya, problematika (kalau mau disebut problematika) seperti ini, sebenarnya tidak ada. Tapi di masa modern ini, hal-hal di bawah ini diterima sebagai hal yang jamak dan lumrah dalam kehidupan orang Kristen.

Yang pertama, soal baptis ulang/rededikasi. Buat saya, selama baptisan sudah terpenuhi unsur forma (dilakukan dengan air) dan materia (rumusan nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus) maka buat saya, baptisan itu sudah sah. Namun, ada beberapa gereja yang tidak mengakui "baptis percik", dan mewajibkan orang-orang yang telah dibaptis percik tersebut untuk mengikuti baptis ulang, yaitu "baptis selam". Baptis selam ini katanya lebih Alkitabiah, karena meniru Tuhan Yesus sendiri.

Bukannya mau munafik, tetapi sayapun dibaptis secara selam. Sebenarnya, saya tidak mempermasalahkan soal percik atau selam. Tapi saya sedih kalau orang yang sudah dibaptis percik lalu disuruh untuk baptis ulang (selam), karena baptis perciknya dianggap tidak sah. Padahal, waktu baptis percik dulu, ia dibaptis dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Namun melalui baptisan ulang, ia sementara menyatakan baptis yang lama tidak berlaku. Apa ini bukannya menghina nama Allah Tritunggal? Di satu sisi seseorang dibaptis dengan Nama itu pada mulanya, namun di sisi lain ia menolak baptisan mula-mula itu, dan dibaptis ulang dengan Nama yang sama. Lagipula, kalau alasannya "untuk meneladani Tuhan Yesus", kenapa setengah-setengah dalam meneladani Dia? Kenapa menikah? (padahal Yesus tak pernah menikah), kenapa tidak berpuasa 40 hari? Itu berarti, tidak semua tindakan Tuhan Yesus harus kita ikuti. Maka, yang bisa kita lakukan adalah meniru sifat dan perilaku Tuhan, bukan tindakan-Nya satu per satu.

Saya juga termasuk pihak yang mendukung "baptisan anak". Untuk saya, baptisan memang tidak menyelamatkan, namun ia adalah meterai bahwa seseorang termasuk dalam golongan orang percaya. Maka, tugas bapak dan ibunyalah untuk mendidik dia seumur hidupnya, sehingga ia dapat menjadi seseorang yang mengasihi Tuhan dengan sungguh. Kenapa saya katakan baptis anak itu Alkitabiah? Karena baptis adalah meterai pengganti dari sunat. Sunat dilakukan pada usia delapan hari, jadi apakah seorang bayi berusia delapan hari bisa mempertanggung jawabkan iman percayanya? Tentu tidak bukan? Maka, konsekuensi yang logis adalah membaptis bayi, baru setelah ia mencapai usia matang, ia bisa mengikuti kelas katekisasi dan menjalani proses sidi.

Fenomena lainnya yang baru saya temui dalam kehidupan gereja modern adalah adanya baptis "rededikasi". Saya bahkan baru mengetahui adanya baptisan ini beberapa bulan yang lalu. Baptis rededikasi ini sebenarnya sama seperti baptis biasa, kecuali ini dilakukan di tempat-tempat yang memiliki sejarah dalam Kekristenan (seperti di Sungai Yordan). Pertanyaan saya buat para Hamba Tuhan yang melayankan baptis rededikasi ini adalah: Apa memang perlu? Apa seseorang begitu cemarnya sampai harus menerima baptisan ulang? Apa sebenarnya motivasi sampai harus menjalani baptisan ulang? Bahkan orang-orang yang murtad dari agama Kristen pun, saat mereka kembali menerima Yesus, juga tidak perlu baptis lagi kok. Karena baptisan itu kudus dan berlaku sekali selamanya seumur hidup. Maka seharusnya orang tidak perlu baptis berulang-ulang. 

Sunday, July 23, 2017

Pengumuman

Setelah sekian lama sibuk dengan berbagai kegiatan dan belum sempat menuangkan ide dan pikiran baru, akhirnya saya memutuskan untuk kembali mengisi blog ini. Berbeda dengan konten sebelumnya, kali ini saya mencoba menuliskan berbagai ide saya dalam bentuk esai populer dengan berbagai macam tema, namun khususnya teologi, bidang yang selalu menarik perhatian dan minat saya sejak sekian lama.
Selamat membaca!

Friday, April 17, 2015

Filsafat Jawa: Mulat Sariro Hangrosowani

     Kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang sangat luas dan beragam. Mulai dari Brebes-Cilacap di ujung barat hingga Banyuwangi di ujung timur, terdapat berbagai macam interpretasi terhadap nilai-nilai universal kebudayaan Jawa. Oleh karenanya, kita mengenal berbagai macam variasi kebudayaan Jawa, seperti Jawa Surakarta (Solo) yang sangat halus dan sopan, hingga Jawa Suroboyoan yang bisa dikatakan agak 'keras'.

     Nah, dalam kesempatan ini saya ingin sedikit berbagi mengenai wisdom atau nilai kebijaksanaan yang terkandung di dalam kebudayaan Jawa, lebih tepatnya kebudayaan Jawa Surakarta. Falsafah ini masih banyak dianut hingga sekarang, terutama oleh orang-orang tua. Salah satu wisdom yang cukup terkenal adalah istilah yang sering terdengar di masa Orde Baru yaitu Mulat Sariro Hangrosowani. Pada artikel ini saya akan mengulas mengenai frase tersebut.

     Mulat Sariro Hangrosowani sebenarnya adalah bagian dari trilogi ungkapan yang pada awalnya digunakan dalam konteks pembelaan negara, yaitu:

(1) Rumangsa melu handarbeni (merasa ikut memiliki)
(2) Rumangsa wajib hangrungkebi (merasa wajib membela)
(3) Mulat Sariro Hangrosowani (mawas diri)

     Dua ungkapan pertama saya pikir tak perlu dijelaskan lagi, sehingga menyisakan ungkapan ketiga. Apakah yang disebut mawas diri itu? Mawas diri dapat dikatakan juga adalah introspeksi, apakah dalam kehidupan kita pernah melakukan kesalahan, sehingga melalui introspeksi itu kita dapat mengetahui apa yang masih kurang di dalam diri kita dan dapat memperbaikinya. Mawas diri juga dapat diartikan sebagai tahu diri, agar kita dapat mengukur kemampuan diri sendiri dan tidak melakukan hal-hal yang di luar kemampuan.

     Ajaran untuk mawas diri ini saya rasa bersifat universal, seperti misalnya dalam agama (Islam) dikenal yang namanya muhasabah, yang tujuannya kurang lebih sama yaitu introspeksi diri.

    Lalu, saya mengangkat topik ini karena merasa, bahwa manusia di zaman modern ini semakin meninggalkan ajaran ini, sehingga banyak yang lupa pada kemampuan diri sendiri sehingga melakukan hal-hal yang di luar batas kemampuannya. Hal ini tentu tidak baik bagi perkembangan kehidupan diri orang itu sendiri maupun orang di sekitarnya, karena cenderung memaksakan diri untuk mencapai target dan melupakan hal lain yang sebenarnya juga penting.

      Berikut contoh yang saya ajukan sebagai perilaku orang-orang yang kurang berhasil dalam menerapkan ajaran Mulat Sariro Hangrosowani ini:

Contoh 1:
      Presiden A adalah presiden yang berkuasa di sebuah negara yaitu negara X. Sebagai seorang presiden, ia juga merupakan seorang ketua dewan pembina dari sebuah partai besar yang turut ia dirikan dan besarkan hingga menjadi partai penguasa. Jabatan ketua dewan pembina pada umumnya bersifat simbolis sehingga tidak mengganggu tugas dan fungsi jabatannya sebagai Presiden dan Kepala Negara. Suatu hari, karena terjadi konflik internal di partainya, ketua umum yang menjabat di partai terpaksa mundur dan terjadi kekosongan kepemimpinan. Kader-kader partai meminta sang presiden untuk 'turun gelanggang' dan bersedia menjabat sebagai ketua umum untuk 'menyelamatkan' partai. Beliau bersedia dan akhirnya dilantik menjadi ketua umum partai tersebut. Dalam perjalanannya, beliau kesulitan untuk membagi waktu antara tugas sebagai Presiden dan ketua partai, sehingga terjadi masalah dalam pemerintahan dan kinerja partai. Dalam hal ini, sang Presiden A telah gagal dalam mengukur kemampuan dirinya, yang pada akhirnya membuatnya kesulitan untuk menjalankan tugas-tugas yang diberikan.
 
Contoh 2:
      B adalah seorang staf marketing di sebuah perusahaan kecil di kota J. B adalah seorang karyawan yang fokus dan berdedikasi penuh kepada perusahaan sehingga atasannya memiliki penilaian baik terhadap dirinya dan mempercayakan kepada B untuk mewakili perusahaan untuk menjamu klien penting dari negara asing. Tak mau gagal dalam menjamu klien, B menghabiskan setengah gajinya untuk menjamu klien tersebut di sebuah restoran mewah di pusat kota. Sayang seribu sayang, karena proposal yang diajukan kurang menarik, sang klien memutuskan untuk tidak memberikan kontrak kepada perusahaan tersebut, yang berarti kegagalan bagi B. B disini telah gagal dalam mengukur kemampuan finansialnya, yang memaksanya berhutang kepada teman satu kosnya untuk menutupi biaya hidupnya sampai akhir bulan.

Contoh 3:
     C adalah seorang mahasiswa yang berkuliah pada semester akhir pada universitas I. C berniat untuk menambah pengalaman kerjanya sehingga ia melamar pada sebuah perusahaan sebagai seorang trainee. Dalam masa kerjanya, ia juga sambil mengerjakan tugas akhir sehingga perusahaan memberi kelonggaran untuk mengambil satu hari libur di hari kerja untuk menemui dosen pembimbing dan mengurus skripsinya. Dalam perjalanannya, pada hari pertemuan dengan dosen pembimbing yang telah ditentukan, atasannya memintanya untuk menghadiri sebuah rapat yang sangat penting. Dihadapkan pada dua pilihan yang sama pentingnya, C terpaksa mengundurkan pertemuannya dengan dosen pembimbing, yang berakibat tertundanya penyelesaian tugas akhir hingga ia gagal menyelesaikan tugas akhir sampai batas waktu yang ditentukan. C telah gagal mengukur kemampuan dirinya untuk membagi waktu, sehingga ia terpaksa mengorbankan tugas akhirnya demi statusnya sebagai karyawan trainee.

Demikian adalah tiga contoh dari manusia yang kurang bisa menerapkan ajaran Mulat Sariro Hangrosowani dalam kehidupannya. Bukannya saya mengajarkan agar orang tidak berusaha semaksimal mungkin dalam usahanya, namun dalam usaha itu harus dibarengi dengan berintrospeksi sehingga kita mengetahui batas kemampuan diri kita sehingga kita tidak menjadi orang-orang yang melampaui batas. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari contoh yang ada.
 

Friday, December 05, 2014

Cerpen: Di Seberang Peron

Di Seberang Peron



     Matahari belum lagi naik ke puncak kepala ketika para penumpang mulai memenuhi pelataran peron. Seperti hari-hari yang lain, aku, Jan van Straten, seorang kepala stasiun kecil yang terletak di pinggiran Batavia, bertugas memastikan semua berjalan baik-baik saja dan para penumpang dapat sampai ke tujuannya masing-masing. Mataku menyapu ke sekeliling lautan manusia yang berdesak-desakan, dengan berbagai keperluannya masing-masing, terus-menerus tanpa henti bagai sungai yang mengalir pelan. Saat itulah mataku terpaku pada sosok seorang wanita muda, mungkin berusia akhir belasan, di seberang peron tempat aku berdiri sekarang. Wanita itu tidak terlalu mencolok sebagaimana kawan-kawan sebangsanya yang lain. Kulit sawo matang dengan rambut sepunggung yang digerai, memunculkan kesan alami. Selain itu, ia mengenakan kebaya dengan kain panjang. Namun apabila kuperhatikan lebih jauh lagi, ada sesuatu yang ganjil dari sosoknya. Matanya. Matanya menyorot nanar ke arah peron seberangnya, seakan ada dendam yang tersirat dari tatap matanya. Untuk seorang perempuan, dapat kukatakan bahwa sorot mata itu sama sekali tidak wajar. Tatap yang sama yang pernah kusaksikan di mata para janda-janda Aceh yang suaminya dibantai oleh pasukan Jenderal Kohler beberapa waktu yang lalu.

     Ya! Aku ada di sana, di antara desingan peluru dan mesiu yang memekakkan telinga dan menyilaukan mata, ketika pasukan Nederland dengan senapan dan meriam lengkap berhadapan dengan laskar Aceh yang kebanyakan hanya bersenjatakan rencong dan parang, dan dalam waktu singkat ribuan jasad tumpang-tindih bergelimpangan di hadapan kami. Beberapa jam setelah pertempuran itu, aku dan batalionku memasuki desa kecil asal para laskar itu. Disanalah kulihat tatapan-tatapan itu. Tatapan nanar bercampur dendam, benci, dan entah apa lagi yang bisa kubayangkan. Saat itu, aku berharap dalam hati, semoga takkan pernah kujumpai lagi pemandangan semacam ini. Namun hari ini, di peron yang semakin panas terbakar matahari siang, diluar keinginanku, kutemui lagi pandangan itu.

     Keberadaanku di stasiun ini pun bukannya tanpa alasan. Seusai perang yang melelahkan di ujung Sumatra itu, batalionku dikirim pulang ke Batavia, dan pada Markas Besar KNIL kukirimkan surat keberatan atas apa yang terjadi di Aceh. Beberapa orang di sana tampaknya tak senang dengan pendapatku, dan jadilah aku diberhentikan dengan tidak hormat dari dinas militer dan ditempatkan di stasiun yang panas dan berdebu ini.

    Kucoba membuyarkan lamunan yang dari tadi merasuki pikiranku ketika tiba-tiba terdengar keributan. Mijn God! Tepat di depan mataku, kulihat perempuan tadi sudah tergeletak di tengah rel dengan darah segar mengalir di kepalanya. Sementara, dari arah timur sudah terdengar bunyi mesin lokomotif yang semakin lama semakin santer terdengar. Astaga, ini sama sekali tidak baik. Dengan segala tenaga yang kumiliki kuhempaskan diriku ke bawah dan mencoba mengangkat tubuh perempuan itu. Dari jarak dekat ternyata sosoknya tidak selusuh yang kukira. Kuangkat tubuhnya dan kuletakkan ke atas bahuku. Dengan segenap tenaga yang tersisa kularikan langkah menuju pinggir rel, jauh dari kereta yang beberapa detik lagi akan melintas. Syukurlah bahwa perempuan itu berhasil kuselamatkan, hanya di peron orang-orang sudah menyemut, membayangkan hal terburuk yang mungkin terjadi apabila kami tak sempat menyingkir dari rel.

     Kubopong tubuhnya dengan perlahan ke kantor kepala stasiun. Perlahan-lahan kesadarannya mulai pulih dan aku berhadap-hadapan dengannya di kursi panjang yang biasa kugunakan untuk menerima tamu. Kusorongkan segelas teh manis ke hadapannya. Perlahan kucoba membuka pembicaraan.

"Spreek je Nederlands?" tanyaku.

Ia menggeleng pelan.

"Siapa kowe punya nama? Kenapa melemparkan diri ke atas rel?" kulanjutkan pertanyaan dalam bahasa Melayu.

Ia menggeleng lagi.

"Tak punya nama? Lantas dimana kowe punya rumah?" 

Ia sama sekali tak menjawab sepatah katapun. Sorot yang sebelumnya kulihat masih bertahan. Entah apa yang ingin ia katakan melalui mata itu. Kurasa tak pernah sebelumnya aku berurusan dengan perempuan ini.

Ketukan pelan menggema di pintu kantorku.

"Komen in!

Saidi, kontrolir keamanan stasiun yang berada di balik pintu rupanya. Segera kupersilahkan ia masuk. Rupanya ia telah mendengar keributan itu dan bergegas menuju kantorku.

"Kowe kemana saja? Ini harusnya jadi kowe punya tanggung jawab!"

"Maaf, juragan. Saya tadi sedang keluar pos sebentar untuk membeli makan siang."

"Ah, sudahlah. Kau tahu siapa perempuan ini? Dari tadi kucoba mencari tahu identitasnya tapi sepertinya dianggapnya aku kaleng kosong."

Jawaban Saidi berikutnya sama sekali tidak kuduga.

"Sebenarnya, juragan, perempuan ini orang kurang waras yang selama ini berkeliaran di sekitar stasiun ini. Sudah seringkali ia mencoba bunuh diri dengan melompat ke tengah rel. Untunglah saya dan anak-anak buah saya selalu berhasil mencegahnya. Hari ini saja kebetulan saya luput. Mohon maaf, juragan, saya berjanji lain kali perempuan ini takkan lepas dari pengawasan kami"

"Kenapa ia terus harus diawasi? Kenapa tidak kowe kirim dia ke rumah sakit jiwa?"

"Saya sudah pernah mengirim dia ke Grogol, juragan, hanya saja perawat di sana kewalahan menanganinya karena seringkali ia mengamuk dan menyerang para perawat. Sekali waktu ia pernah menikam seorang perawat hingga mati disana. Untunglah Landraad tidak mengeksekusinya karena ia dianggap tidak waras. Setelahnya ia dilepas begitu saja. Beberapa hari kemudian, ia sudah berada di sini lagi."

"Coba kowe hubungi Meneer van Buren. Tanyakan padanya apa masih ada tempat untuk mengirimnya ke Sumedang atau ke Jawa. Aku tak mau ia berkeliaran di sini dan membahayakan penumpang."

"Siap, juragan."

Saidi melangkah ke ambang pintu. Namun sebelum sempat ia melangkah keluar, terbersit dalam hatiku untuk bertanya lebih jauh kepadanya.

"Saidi!"

"Ya, Juragan?"

"Kowe tahu kenapa sebab ia gila?"

"Menurut para perawat yang merawatnya, juragan, ia sempat membuka mulutnya sedikit. Ia berasal dari keluarga terpandang yang tinggal di Noordwijk. Ayahnya seorang pegawai di Binnenland-Bestuur dan merupakan keturunan Pangeran Diponegoro. Kemudian hatinya tertambat pada seorang peranakan dan mereka berencana menikah. Sayang, keluarganya tidak menyetujui rencana pernikahan itu. Mereka mengusirnya dari rumah dan memutuskan untuk kawin lari saja dengan tunangannya itu. Malang bagi dia, ternyata tunangannya itu seorang pria beristri. Ia ditinggalkan begitu saja. Juragan dapat membayangkannya? Sudah dibuang keluarga, lalu dikhianati kekasih. Wajarlah kalau ia menjadi gila. Permisi, juragan."

Aku tertegun mendengar penjelasan itu. Kutatap dalam-dalam dari ujung rambut hingga ujung jari kaki perempuan ini. Sekilas tak ada yang salah dengan perempuan ini. Hanya tatapannya saja yang membuatku agak ngeri. Sepintas, kubayangkan nasib perempuan ini andai saja keluarganya tidak membuangnya atau tunangannya tidak meninggalkannya.

Kini yang tersisa dari paras manis itu hanyalah kepahitan. Kepahitan yang tandas sampai ke tulang.

Depok, 05 Desember 2014
Wishnu Wardhana

Wednesday, May 14, 2014

Saksi Yehovah Bikin Resah

     Akhir-akhir ini di lingkungan kampus saya banyak orang-orang dari aliran Saksi Yehovah yang menyebarkan majalah mereka (Menara Pengawal/Watchtower dan Sedarlah!/Awake!), mengajak ngobrol dll, yang ujung-ujungnya menawarkan orang untuk ikut ajaran mereka. Biasanya mereka 'mangkal' di depan stasiun di dekat kampus saya, membagikan brosur kepada orang-orang yang mana kondisi stasiun dan sekitarnya itu sedang ramai-ramainya pada pagi hari (sekitar jam 08-10). Bahkan beberapa dari mereka masuk ke lingkungan kampus dan biasanya mereka mendekati orang yang sedang sendiri. Dalam setiap kesempatan biasanya mereka selalu memberikan majalah itu (yang sebetulnya lebih mirip brosur), yang isinya mengenai dalil dan ajaran mereka.

     Seperti yang dialami salah seorang teman saya dua hari lalu. Saat dia sedang duduk sendiri menunggu orang, datanglah seorang perempuan muda dengan pakaian khas anak kuliahan, lalu duduk di dekat teman saya dan mengajak bicara. Dia mengaku sebagai alumni FISIP, lalu setelah berkenalan singkat mulailah sang Saksi Yehovah ini mengajak ngobrol tentang masalah dunia, yang mana teman saya kurang berminat juga karena sama sekali belum kenal. Setelah ditanya teman saya, barulah dia mengaku kalau dia anggota Saksi Yehovah dan memberikan majalahnya kepada teman saya. Setelahnya dia ketemu saya dan memberikan majalah itu ke saya, karena dia seorang Muslim dan sama sekali tidak berminat dengan ajaran Saksi Yehovah. Buat saya ini tidak wajar, dan terbilang gaya baru dalam evangelisasi khas Saksi Yehovah, karena sejak dulu yang menjadi target mereka ya cuma orang-orang Kristen, karena juga ajaran mereka berdasar pada ajaran Kristen. Sekarang target mereka juga meluas ke orang-orang non-Kristen.


Majalah ini berbahasa Inggris, padahal saya punya yang bahasa Indonesia..

     Dalam post saya tentang Saksi Yehovah sebelumnya, sudah saya jelaskan bahwa mereka ini adalah sempalan agama Kristen yang membuat ajaran baru dan menginterpretasikan Alkitab menurut versi mereka. Menurut ajaran Saksi Yehovah, hanya ada satu Tuhan (yang disebut Yahweh/Yehovah, menurut ejaan asli nama Tuhan dalam Perjanjian Lama). Dengan demikian, mereka menolak keilahian Yesus, dan hanya menganggap Yesus adalah Putra Allah yang Tunggal, dalam artian merupakan ciptaan Tuhan yang utama, diatas malaikat, setan dan manusia, dan bukan Tuhan. Maka, setiap ayat yang menyiratkan keilahian Yesus dalam Alkitab, mereka ubah dan Yesus disebut sebagai 'Tuan' dalam Alkitab mereka, yang disebut sebagai Terjemahan Dunia Baru (New World Translation/NWT).

     Secara liturgi (tatacara ibadah), Saksi Yehovah ini tidak jauh berbeda dalam aliran-aliran agama Kristen lainnya, yang dasarnya adalah nyanyian pujian dan pembacaan Firman. Tentunya, dalam pujian yang mereka sembah hanyalah Yahweh, Tuhan yang Esa. Dalam ibadah pun tak ada kolekte amal; segala kegiatan dan ibadah mereka terbuka untuk umum dan ibadah mereka diadakan setiap tiga kali seminggu (biasanya pada Senin, Kamis dan Minggu) dan di jemaat-jemaat yang lebih kecil, dua kali seminggu; di hari-hari itupun ada studi Alkitab yang diselenggarakan oleh pemimpin-pemimpin Jemaat. Di kota tempat tinggal saya pun ada satu tempat ibadah mereka, yang disebut Balai Kerajaan, di bilangan Depok Lama. Setahun sekali mereka mengadakan ibadah distrik, yang tahun lalu diadakan di Istora Senayan dan berlangsung dengan sukses.

     Saksi Yehovah mewajibkan setiap pemeluknya untuk melakukan evangelisasi (mengajak orang-orang untuk mengikuti ajaran mereka) dan biasanya ada jangka waktu tertentu, misalnya 1 atau 2 tahun. Mereka biasanya mencari tempat-tempat keramaian untuk membagikan majalahnya, dan bahkan dalam satu kesempatan saya melihat mereka membuka stand di sebuah mall di bilangan Depok. Seperti yang sudah saya jelaskan dalam kesempatan sebelumnya, sekte Saksi Yehovah ini sangat unik karena menjadi satu-satunya aliran agama yang 'membuka' kantor dan percetakan mereka untuk umum (bahkan ada program tour). Tujuannya, tentu untuk memperkenalkan ajaran mereka kepada umum dan berharap agar orang tertarik untuk mengikuti ajaran mereka.


Stand mereka ada di belakang stand tempat jual sepatu di latar belakang. Maaf kalau gambarnya sama sekali tidak jelas.

      Posisi saya tidak mendukung atau menolak usaha-usaha mereka dalam menyebarkan agama, karena sesungguhnya adalah hak setiap pengikut ajaran agama untuk mengajak orang lain untuk mengikuti ajarannya (karena tentunya hampir setiap agama menganggap orang-orang yang tidak beragama sama tidak akan diselamatkan). Saya mengutip perkataan Presiden pertama kita, Ir. Soekarno, dalam tulisan sebelumnya, yang mengkritik dalam hal ini umat Islam, yang kurang sigap dan tanggap ketika menghadapi kenyataan umat agama lain yang menyebarkan agamanya di Ende, Flores. Saya pikir pun harusnya sekarang seperti itu juga; ketika umat agama lain menyebarkan agamanya, tentunya yang harus kita lakukan adalah ikut berpikir dan berdialog, agar dapat dicari titik temu antara pemikiran yang berbeda tersebut.

     Satu hal yang sangat saya khawatirkan terkait metode penyebaran agama Saksi Yehovah ini adalah, tidak semua umat beragama di Indonesia ini paham mengenai agama-agama selain agama yang dianutnya. Sebagai contoh, Saksi Yehovah adalah aliran yang berkembang dari dasar agama Kristen, dan terdapat banyak sekali referensi tentang Yesus dalam ajaran mereka. Mengingat sekarang target evangelisasi Saksi Yehovah meluas ke umat-umat non-Kristen, dalam hal ini Islam, tentu sangat berbahaya apabila seorang Muslim diajak berdialog mengenai ajaran Saksi Yehovah. Pada intinya Muslim itu akan berpikir sang Saksi Yehovah ini adalah orang Kristen yang berupaya menyebarkan agamanya. Padahal ajaran Saksi Yehovah pun sejak munculnya telah dicap sesat dan bidah oleh golongan Kristen mainstream.

     Dan, akhirnya umat Kristen yang tidak tahu apa-apa pun menjadi sasaran kemarahan mayoritas anak bangsa.

Saturday, May 10, 2014

Maskulinitas dan Konteksnya dalam Jerman Masa Kini

Maskulinitas dan Konteksnya dalam Jerman Masa Kini
Oleh Wishnu Wardhana

            Maskulinitas adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sifat-sifat dasar manusia yang berjenis kelamin pria sesuai dengan konstruksi yang dibangun di masyarakat. Maskulinitas ini (dan juga feminitas pada wanita) bukanlah sebuah konstruksi biologis, melainkan sesuatu yang diperoleh melalui pengalaman dan pembinaan melalui proses sosialisasi. Dalam masyarakat pada umumnya yang menganut budaya patriarkis, sifat-sifat maskulinitas ini pada umumnya digambarkan sesuai dengan ciri-ciri fisik pria (sebagai suatu konstruksi biologis); pria memiliki massa otot yang lebih besar, sehingga diharapkan dengan keadaannya yang demikian itu, manusia yang berjenis kelamin pria tadi dapat memenuhi ekspektasi masyarakat yang dibebankan kepadanya melalui sifat-sifat khas maskulinitas, diantaranya fisik yang kuat (tubuh berotot) dan mental yang lebih tahan terhadap tekanan. Secara mental, pria diharapkan untuk menjadi seorang yang intelektual dan dapat hidup di dalam konteks individualis. Hal ini berarti, pria diharapkan untuk dapat memenuhi kebutuhannya dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Penggambaran sifat maskulinitas yang demikian ini dapat ditemui dalam berbagai bentuk, misal salah satu contoh yang baik adalah tokoh Marlboro Man, seorang koboi, dalam iklan rokok Marlboro. Dalam iklan yang berbentuk video tersebut, digambarkan seorang koboi yang senantiasa memakai topi koboi dan menggembalakan ternaknya sendirian. Secara fisik, ia juga terlihat memiliki struktur tubuh yang ideal dan kokoh. Hal yang menarik disini adalah bagaimana sang Marlboro Man selalu digambarkan dalam iklan tersebut sendirian, padahal pekerjaan menggembalakan ternak di padang rumput bukanlah pekerjaan yang mudah dan mustahil dilakukan oleh satu orang saja. Disinilah muncul harapan masyarakat melalui penerapan sifat-sifat maskulinitas, salah satunya adalah pria yang harus dapat mengatasi masalahnya sendiri (The Lone Hero).
            Sifat maskulinitas tentu berbeda dengan sifat feminitas, yang menempatkan wanita (sebagai suatu konstruksi biologis) di dalam sebuah konteks sosial; wanita diharapkan untuk tetap berhubungan secara intens dan kontinyu dengan individu lain untuk dapat memenuhi kebutuhannya dan mengatasi masalahnya. Hal ini bukan berarti pria tidak dapat ditempatkan dalam konteks sosial, namun penempatan itu memiliki porsi yang jauh lebih besar dari pria.
            Maskulinitas sendiri merupakan sebuah konstruksi yang bersifat terbuka dan senantiasa berubah mengikuti perkembangan zaman. Dahulu, di abad 17 maskulinitas ideal secara fisik adalah bertubuh ramping dan berambut panjang, dan secara mental adalah memiliki sikap yang lembut. Hal ini tentu berbeda jauh dengan maskulinitas di masa kini yang telah digambarkan di atas; kuat, berotot, dan tangguh secara mental. Ketika ditempatkan dalam konteks seksual, maskulinitas memiliki subtema yang berbeda, diantaranya:
1.       Tipe gladiator-retro man: pria yang secara seksual aktif dan memegang kontrol.
2.       Tipe protector: pria pelindung dan penjaga.
3.       Tipe clown of boffoon: pria yang mengutamakan persamaan dalam menjalin     hubungan dan menghormati wanita serta bersikap gentleman.
4.      Tipe gay-man: pria yang mempunyai orientasi seksual, homoseksual.
5.      Tipe wimp: jenis pria yang lemah dan pasif

Namun kelima tipe ini adalah maskulinitas yang ditempatkan dalam konteks seksual dan bukan secara umum, sehingga tidak dapat diterapkan dalam konteks lainnya, misalnya konteks sosial, politik dan lain sebagainya.
            Di dalam kajian budaya, maskulinitas dalam konteks sosial dibagi menjadi dua, yaitu maskulinitas hegemonis dan maskulinitas subordinat.
            Maskulinitas hegemonis adalah keadaan yang menjadikan maskulinitas itu mendominasi kehidupan sosial; berarti, pria (sebagai suatu konstruksi biologis) diharapkan memiliki sifat-sifat maskulinitas yang telah disebutkan diatas dan juga memimpin masyarakat melalui keunggulan hakikatnya tersebut. Keadaan ini sangat mungkin terjadi dalam masyarakat yang berbudaya patriarkis.
            Sedangkan, maskulinitas subordinat adalah keadaan yang tetap mempertahankan pandangan masyarakat mengenai pria yang harus memiliki sifat-sifat maskulinitas, namun dalam konteks sosial, pria tidak memiliki posisi sebagai pemimpin mutlak, namun fungsi-fungsi juga dapat dipenuhi oleh manusia yang berjenis kelamin wanita.

Maskulinitas dalam Konteks Jerman Masa Kini

            Menurut Geert Hofstede, seorang peneliti yang meneliti sifat-sifat maskulinitas dan feminitas di seluruh dunia, sebuah masyarakat dapat dikatakan maskulin apabila perkembangan sosial kemasyarakatan ditentukan oleh kompetisi, pencapaian materi dan kesuksesan. Di Jerman, sifat ini telah dikembangkan sejak masa sekolah, dimana murid-murid dibagi ke dalam sistem pendidikan yang berbeda menurut kemampuannya setelah Grundschule (sekolah dasar), dan terus berlanjut ke dalam dunia kerja melalui perilaku kolektif dan organisatoris. Seperti dijelaskan dalam bagian sebelumnya, sifat maskulinitas secara mental salah satunya digambarkan tangguh dan dapat menyelesaikan masalah dan memenuhi kebutuhan sendiri. Baik secara individual maupun kolektif, sifat-sifat maskulinitas jelas terlihat dalam cara hidup masyarakat Jerman.
            Sedangkan masyarakat feminis menganggap nilai-nilai yang utama adalah perhatian kepada manusia lain dan perjuangan untuk perbaikan kualitas hidup. Sebuah masyarakat feminis menganggap kualitas hidup (bukan secara materi namun lebih kepada sifat nonmateri) adalah tanda kesuksesan dan menjadi individu yang menonjol bukanlah sesuatu yang diwajibkan untuk meraih perhatian dan penghormatan dari manusia lain.
            Berhubungan dengan sifat maskulinitas dalam konteks sosial, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jerman menganut budaya maskulinitas subordinat. Meskipun dalam masyarakatnya masih mengharapkan nilai-nilai tradisional dari maskulinitas, namun dalam konteks sosial pria tak lagi memegang kekuasaan mutlak, sehingga banyak wanita yang memegang kendali sosial, seperti misalnya kanselir Jerman Angela Merkel, yang merupakan seorang wanita.

Kesimpulan

            Setelah mengkaji berbagai definisi maskulinitas, ciri-ciri maskulinitas baik secara fisik maupun secara mental, dan memperhatikan konteks sosial masyarakat Jerman, dapat disimpulkan bahwa sifat-sifat maskulinitas secara umum sangat sesuai dengan konteks sosial masyarakat Jerman. Jerman merupakan sebuah negara yang sangat menjunjung tinggi pencapaian material sebagai hasil dari kompetisi dan perjuangan untuk meningkatkan kemampuan individual. Secara singkat, maskulinitas di Jerman dapat disimpulkan menjadi: “Sifat-sifat dasar manusia yang berjenis kelamin pria yang diharapkan masyarakat, yang memiliki ciri fisik kuat dan berotot, bermental tangguh, dan berorientasi pada kesuksesan materi, namun tidak memegang kendali mutlak dalam konteks sosial.”

Sumber

-          Kurnia, Novi. Representasi Maskulinitas dalam Iklan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Volume 8, Nomor 1). Jakarta: 2004
-          http://geert-hofstede.com/germany.html (diakses pada 10/05/2014 pada pukul 13.25)
-          http://www.clearlycultural.com/geert-hofstede-cultural-dimensions/masculinity/ (diakses pada 10/05/2014 pukul 13.27)


Saturday, March 08, 2014

Struktur Wacana

Struktur Wacana
diambil dari buku karya Sara Mills: Discourse
Disunting oleh:
Lidya Natalie, Ribka Gloria, Ruherlita, Shilmi Budiarti, Winda Seprita, Wishnu Wardhana

Pengantar
Salah satu pernyataan penting dari Foucault dalam The Archeology of Knowledge (1972) adalah bahwa wacana bukan hanya sekedar pengelompokan ucapan, melainkan wacana juga merupakan pernyataan yang diatur dengan aturan-aturan internal tertentu yang sangat spesifik bagi wacana tersebut. Wacana juga terdiri dari pelbagai wacana lainnya yang teratur. Kaidah dan struktur wacana tidak berasal dari faktor sosial-ekonomi maupun budaya, namun faktor sosial-ekonomi dan budaya yang merupakan satu bentuk dari wacana itu sendiri dan dibentuk oleh mekanisme wacana yang bersifat internal.
Studi wacana ini bukan hanya analisis tentang ucapan dan pernyataan saja, namun juga memperhatikan bagaimana struktur dan kaidah wacana tersebut. Foucault mengistilahkan analisis struktur wacana ini dengan ‘arkeologi’. Foucault mencoba menekankan bahwa melakukan analisis struktur wacana ini bukanlah untuk menyingkapkan kebenaran atau asal-usul suatu pernyataan, melainkan untuk menemukan mekanisme pendukung yang bersifat intrinsik dan juga ekstradiskursif dalam wacana.
Sebagian besar dalam The Archeology of Knowledge terfokus pada hubungan antara teks dan wacana dengan kenyataan dan pengonstruksian kenyataan oleh struktur wacana tersebut. John Frow berkomentar bahwa wacana adalah kenyataan yang dibangun secara sosial yang mengkonstruksi mana yang nyata dan mana yang simbol serta perbedaan antar keduanya. Banyak perdebatan mengenai apakah Foucault mengingkari eksistensi yang nyata, maksudnya ketika ia menekankan kekuatan formatif wacana, sedangkan para sejarawan menentang Foucault karena menganggap Foucault mengingkari peristiwa historis.
Foucault menyatakan bahwa objek dan ide itu diciptakan oleh manusia dan hal inilah yang membentuk realitas bagi kita. Foucault menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk memahami realitas adalah melalui diskursus dan sistem diskursif.
Menurut Foucault struktur wacana memiliki sifat intrinsik pada wacana, terutama epistem, pernyataan (statement), wacana dan arsip.


Menurut Foucault, realitas disini dipahami sebagai seperangkat konstruksi yang dibentuk melalui wacana. Realitas itu sendiri, tidak bisa didefinisikan jika kita tidak mempunyai akses dengan pembentukan struktur diskursif tersebut.. Kita mempersepsi dan bagaimana kita menafsirkan objek dan peristiwa dalam system makna tergantung pada struktur diskursif. Struktur diskurs ini menurut Foucault, membuat objek atau peristiwa terlihat nyata oleh kita. Struktur wacana realitas itu,tidaklah dilihat sebagai sistem yang abstrak dan tertutup.
Foucault berpendapat bahwa materi dan ide diciptakan oleh manusia dan lembaga yang menciptakan realitas kepada kita, yang telah dikritik karena kelihatan seolah-olah berpendapat bahwa tidak ada sesuatu yang sifatnya non-diskursif atau sesuatu di luar wacana. Foucault tidak mengingkari bahwa ada realitas sebelum manusia ada, tidak juga mengingkari adanya bentuk peristiwa dan pengalaman, seperti beberapa kritik yang ditujukan kepadanya; hal ini menganggap bahwa satu-satunya cara untuk memahami realitas adalah melalui wacana dan struktur diskursif. Pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur wacana tersebut: yang berarti, wacana diklasifikasikan menurut batasan bidang ilmunya. Sara Mills memberi contoh: Pada masa lalu, bakteri diklasifikasikan sebagai hewan, namun pada masa sekarang merupakan kategori tumbuhan. Tidak ada yang berubah dari hakikat bakteri, perbedaannya justru karena struktur wacana yang dibuat yang mengarahkan dan membatasi kita melihat bakteri itu sebagai tumbuhan, bukan hewan, dan mempelajari serta menempelkan sifat-sifat bakteri sebagai tumbuhan.

Epistem
Suatu epistem terdiri dari sejumlah diskursus yang tercipta berkat interaksi berbagai diskursus. Oleh sebab itu, suatu epistem  mencakup berbagai metedologi yang sudah dianggap terbukti oleh sebuah budaya. Foucault menunjukan bahwa dalam periode tertentu, ada kecenderungan untuk menyusun cara berpikir dengan cara-cara tertentu. Akibatnya, sebagai contoh dalam seperangkat epistem yang ada pada era ratu Victoria, pemikiran ilmiah dicirikan dengan kecenderungan untuk menghasilkan tabel yang rinci; dalam suatu sistem klasifikasi yang didefinisikan dengan sangat kaku. Berikut ini tabel yang diambil dari buku Brown The Races of Mankind (1873-9):
“Di zaman ratu Victoria, cara berpikir tentang dunia seperti ini kelihatannya merupakan cara yang ‘alami’ untuk menggambarkan perbedaan ras. Di sini manusia dikelompokan menurut cara klasifikasi anjing atau kuda, yakni berdasarkan asal keturunan dan “kesucian” garis keturunan. Sebagaimana ditunjukan oleh Young, sistem klasifikai untuk pencangkokan tumbuhan dan perkawinan silang pada binatang kemudian dipakai untuk  menjelaskan penduduk asli” (Young, 1995). Di sini, kita juga dijauhkan dari upaya untuk memetakan secara rinci unsur pembentuk bidang pengetahuan, karena pola berpikir seperti ini sekarang telah diganti dengan cara pengelompokan pengetahuan dan informasi yang lain.
Foucault menyatakan adanya keterputusan epistemik (epistemic breaks), yakni pada saat tertentu dalam sebuah budaya, terjadi keterputusan perkembangan struktur diskursus, sehingga pada zaman ratu Victoria, gambaran tentang realitas yang berbentuk tabel sepenuhnya kelihatan alami. Sebaliknya, pada abad duapuluh, metode penggambaran ini kelihatannya mulai tidak lazim. Contoh lain yang diberikan Foucoult adalah tentang signifikasi sebuah peristiwa dalam kaitannya dengan tatanan ilahiah. Pada masa–masa awal Eropa Modern, setiap peristiwa ditafsirkan menurut sistem pemikiran yang menghubungkan alam dunia dengan tatanan agama atau supernatural. Oleh sebab itu, apa yang sekarang digolongkan sebagai fenomena alam, seperti badai yang dahsyat, dari segi signifikasinya peristiwa ini akan digolongkan ke dalam sistem simbol yang lebih luas, mungkin sebagai tanda atau isyarat dari kemurkaan Tuhan. Sementara di Eropa akhir abad dua puluh, badai tidak lagi memiliki signifikasi supranatural. Unsur pembentuk pengetahuan ini telah berubah. Kalau biasanya kita mengangagap perubahan ini sebagai dampak kemajuan pemikiran, maka Foucault menyatakan bahwa sistem pengetahuan kita sendirilah yang membentuk epistem mutakhir, yang akan terlihat sebagai sebagai suatu yang asing bagi generasi masa depan.
Sejarah intelektual seharusnya dilihat sebagai serangkaian gerakan tiba-tiba dari suatu sistem klasifikasi dan representasi kepada sistem klasifikasi yang lain. Foucault memiliki pemikiran tentang sejarah yang berbeda dengan pemikiran kaum konservatif dan Marxis. Menurut kedua kaum ini, gagasan perkembangan (improvement) dan kemajuan (progress) memiliki arti yang sentral. Bagi kelompok konservatif, pengetahuan ilmiah tak bisa dihindari dan akan menimbulkan kemajuan kehidupan umat manusia. Sementara bagi kelompok Marxis, perubahan revolusioner akan menimbulkan kemajuan pada kondisi kelas pekerja.

Pernyataan
Epistem dibangun dari sederetan pernyataan yang dikelompokkan menjadi beberapa wacana atau kerangka wacana yang berbeda. Pernyataan adalah dasar utama dari sebuah wacana. Suatu kalimat dapat berfungsi sebagai beberapa pernyataan yang berbeda, bergantung pada konteks wacana yang ada. Menurut Foucault, “Keajegan sebuah pernyataan, pemeliharaan identitas melalui ucapan, duplikasi melalui identitas bentuk, semua ini ada karena fungsi pengunaannya di mana ia berada.”
Menurut Dreyfusdan Rabinow, beberapa ucapan yang berbeda sebenarnya dapat membentuk suatu pernyataan tunggal. Pernyataan kelihatannya sangat mirip dengan speech act yang dicetuskan oleh Searle dan Austin. Menurut Foucault sendiri, pernyataan adalah ucapan-ucapan yang memiliki kekuatan institusional dan mendapatkan pengesahan dari suatu otoritas. Ucapan-ucapan inilah yang termasuk dalam kelompok ‘yang nyata’. Ucapan dan teks yang menciptakan sebuah klaim kebenaran serta disepakati sebagai pengetahuan, dapat digolongkan sebagai pernyataan.

Wacana
Foucault membedakan antara wacana secara keseluruhan dengan wacana-wacana atau sekelompok pernyataan. Sebuah wacana adalah seperangkat pernyataan yang memiliki kekuatan institusional dan mempengaruhi cara bertindak dan berpikir individu, batasan sebuah wacana tidaklah jelas. Sementara itu, wacana juga dapat dilihat sebagai berbagai kelompok pernyataan yang memiliki keuatan serupa. Pernyataan-pernyataan ini dikelompokkan karena adanya suatu tekanan institusional, keserupaan konteks, atau karena mereka bertindak dengan cara yang sama.

Arsip
Menurut Foucault, arsip adalah seperangkat kaidah yang ada pada suatu periode dan pada suatu masyarakat tertentu untuk mendefinisikan: 1) batas dan bentuk apa yang boleh diungkapkan (expressibility); 2) batas dan bentuk konservasi (conservation); 3) batas dan bentuk memori; dan 4) batas serta bentuk penggiatan kembali (reactivation). Arsip harus dilihat sebagai seperangkat mekanisme wacana yang membatasi apa yang dapat dikatakan, apa bentuknya, serta apa yang pantas diketahui dan diingat.

Pengecualian dalam Wacana
Dalam artikel yang berjudul The Order of Discourse (1981), Foucault membahas bagaimana caranya sebuah diskursus diatur oleh institusi untuk menghindari berbagai bahaya yang bisa ditimbulkannya. Ia menggambarkan proses pengecualian yang berlaku dalam diskursus untuk membatasi apa yang dapat dikatakan dan apa yang dapat dianggap sebagai pengetahuan. Terdapat tiga pengecualian dalam diskursus, yang pertama Foucault sebut dengan ‘larangan’ atau tabu. Maksudnya, ada beberapa hal tertentu yang sulit dibicarakan oleh masyarakat Barat seperti pembicaraan kematian dan seks. Dalam budaya Inggris, banyak orang mengatakan bahwa mereka merasa dijauhi atau dihindari bahkan oleh teman dekatnya sendiri disaat pasangannya meninggal. Hal ini terjadi karena sulitnya memahami kematian dan kurangnya tatanan kata dalam bahasa Inggris untuk menyampaikan belasungkawa tanpa terdengar tidak cocok, tidak tulus ataupun terlalu resmi. Adapun dengan pembicaraan seputar seks juga merupakan sebuah hal yang tabu. Di Inggris pada masa ratu Victoria, orang sangat sulit membicarakan seks secara terbuka. Masalah yang berkaitan dengan seks akan dihindari dengan cara apapun dalam masyarakat yang ‘sopan’ dan masyarakat campuran.
Pengecualian kedua dalam diskursus terhadap apa yang boleh dikatakan, terpusat di sekitar diskursus orang-orang yang dianggap gila dan tidak rasional. Foucault menyatakan bahwa dalam periode sejarah yang berbeda, ucapan orang gila bisa dianggap berada pada tingkatan pengetahuan Tuhan atau sama sekali tidak berarti. Di Inggris pada abad 20 misalnya, bahasa orang yang menderita skizofrenia tidak dipercaya, sehingga ketika ada orang yang dianggap “gila” berbicara maka ia akan dikesampingkan. Jika mereka menuntut perlakuan tertentu yang  tidak didukung oleh penguasa, mereka pada umumnya akan diabaikan. Ada anggapan bahwa keinginan dan pandangan orang-orang yang “rasional”, seperti dokter memiliki bobot yang lebih tinggi. Pengecualian ketiga—yang mengklasifikasikan apa yang disebut pernyataan dan karena itu ia merupakan kerangka wacana—adalah pembagian antara pengetahuan yang dianggap benar dengan pengetahuan yang dianggap salah. Foucault mengklasifikasikan sejarah pembagian seperti ini dan menyatakan bahwa bagi orang Yunani pada abad 6 isi sebuah pernyataan tidaklah terjamin kebenarannya. 

Persebaran Wacana
            Selain prosedur pengecualian tadi, Foucault menegaskan bahwa konstruksi wacana juga memiliki mekanisme internal dan eksternal, yang menjamin keberadaan wacana tersebut. Terdapat beberapa mekanisme persebaran wacana ini, diantaranya adalah tafsir dan gagasan disiplin akademis; tafsir terhadap sebuah wacana menjadikan wacana tersebut tetap sesuai dengan kondisi nyata meskipun wacana itu sendiri dimunculkan beribu-ribu tahun yang lalu. Contohnya adalah Alkitab, yang meskipun kitab terakhirnya ditulis lebih dari 1.900 tahun yang lalu, namun pesannya tetap relevan di masa modern ini, karena adanya tafsir-tafsir yang menjelaskan isi Alkitab itu dengan latar belakang masa modern. Salah satu contoh tafsir Alkitab adalah Kitab Hukum Kanonik (KHK) milik Gereja Katolik, yang berisi berbagai perintah, larangan dan tradisi yang semuanya berdasar dari satu wacana yaitu Alkitab. Dengan demikian, keberadaan KHK tersebut menjaga pesan Alkitab agar tetap relevan di masa modern ini. Selain itu, terdapat juga mekanisme wacana lain, yaitu disiplin akademis. Disiplin akademis ini adalah pengelompokan wacana-wacana dalam skala besar yang menentukan apa yang dapat dianggap sebagai fakta atau benar didalam bidang-bidang tertentu. Jadi, masing-masing bidang ilmu akan menentukan metode, bentuk proposisi dan argumen, dan dimanakah letaknya bidang wacana tersebut. Serangkaian struktur ini akan membantu memunculkan proposisi baru, tetapi hanya terbatas didalam batas-batas tertentu. Foucault berpendapat bahwa struktur disiplin akademis tadi mengecualikan banyak proposisi. Bahkan jika penelitian seseorang sebenarnya akurat secara faktual atau berpandangan jauh ke depan, namun jika penelitian tersebut tidak sesuai dengan bentuk dan isi bidang ilmu tertentu, penelitian tersebut hampir pasti ditolak, atau dianggap sebagai bukan penelitian akademis, dan lebih sebagai penelitian populer. Contoh yang baik akan hal ini adalah penelitian Galileo Galilei pada abad ke-15. Galileo pada masa itu menyatakan bahwa bumi sesungguhnya berputar mengelilingi matahari (yang terbukti benar secara faktual berabad-abad kemudian), namun pandangan faktual itu berbenturan dengan disiplin ilmu astronomi abad ke-15 yang diusung oleh Gereja, yang berpendapat bahwa matahari mengelilingi bumi. Oleh karena penelitiannya, Galileo dijadikan tahanan rumah sampai akhir hayatnya. Kejadian ini membuktikan, bahwa meskipun penelitian/wacana yang dikemukakan seseorang benar secara faktual, namun apabila tidak sesuai dengan disiplin bidang ilmu yang mencakup wacana tersebut, maka wacana tersebut pun akan tertolak.